Metode Menyampaikan Kritik kepada Remaja
Metode Menyampaikan Kritik kepada Remaja merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam pembahasan Ada Apa dengan Remaja. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 22 Jumadil Akhir 1446 H / 24 Desember 2024 M.
Kajian Tentang Bijak dalam Memberikan Kritik kepada Remaja
Ada beberapa kiat yang perlu dilakukan dalam memberikan pengarahan kepada remaja tanpa terlalu berlebihan dalam memberikan kritik.
Sebelum memulai dialog atau menyampaikan sesuatu yang perlu kita kritik dari remaja, sebaiknya terlebih dahulu membangun hubungan yang positif dengan mereka. Hal ini penting karena yang ingin kita sasar adalah ingin merebut hati mereka, maka perlu membangun hubungan tersebut dengan dasar cinta, kasih sayang, dan menunjukkan niat yang tulus. Kita harus memastikan bahwa dialog atau kritik yang disampaikan bertujuan untuk kebaikan mereka, bukan untuk menjatuhkan atau mendiskreditkan.
Selain itu, kita dianjurkan untuk mengatur cara berbicara ketika berdialog atau menyampaikan kritik kepada mereka. Misalnya, kritik hendaknya disampaikan secara pribadi, menjaga rahasia dan privasi mereka. Jangan menyampaikan kritik di depan orang banyak, seperti di hadapan ayahnya jika kita adalah ibunya, atau sebaliknya.
Sebagai manusia, sifat dosa adalah sesuatu yang cenderung ingin dirahasiakan. Tidak ada yang suka kesalahannya diketahui orang lain. Oleh karena itu, dalam menyampaikan kritik kepada remaja, usahakan melakukannya secara empat mata. Hal ini menunjukkan bahwa kita menghargai, menghormati, dan memuliakan mereka, serta tidak menyebarkan atau membuka aib mereka kepada orang lain.
Meskipun tujuan kita baik, yaitu meluruskan, menasihati, atau mengkritik, jika dilakukan di hadapan banyak orang, hal tersebut justru dapat membuat mereka menjauh. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
بَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
“Sampaikan kabar gembira dan jangan membuat orang lari.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nasihat, pada dasarnya, sebaiknya disampaikan secara empat mata. Tujuannya adalah untuk meluruskan, bukan membuat orang yang dinasihati semakin jauh dari kebenaran. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan momen yang tepat serta cara berbicara.
Momen penyampaian nasihat sangat berpengaruh. Hindari memberikan nasihat ketika seseorang sedang marah atau sangat bersedih, karena dalam kondisi tersebut nasihat sulit diterima dengan baik.
Sampaikan nasihat secara pribadi, bukan di hadapan orang lain, siapa pun mereka. Ini menunjukkan penghargaan kepada orang yang dinasihati, sehingga mereka merasa dihormati dan lebih mudah menerima masukan.
Pemilihan kata sangat penting. Meskipun kata-kata kita benar, jika terdengar kurang bijaksana, nasihat tersebut mungkin sulit diterima. Selain itu, perhatikan intonasi suara. Jika nada bicara terlalu tinggi, walaupun kata-katanya baik, kesan yang muncul bisa menjadi intimidasi, kemarahan, atau emosi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
…فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ…
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 159)
Kelembutan, termasuk dalam berbicara, adalah kunci untuk menyampaikan nasihat. Bahkan, meskipun ada rasa marah, orang tua atau siapa pun yang memberikan nasihat harus mampu mengendalikan emosinya. Kemarahan yang dilampiaskan hanya akan membuat suasana tidak terkendali dan memperburuk keadaan.
Dialog memiliki etika yang harus dijaga, salah satunya adalah memberikan kesempatan kepada lawan bicara untuk menyampaikan pandangannya. Biarkan mereka merespons nasihat kita, mengungkapkan perasaan, dan memberikan tanggapan.
Ingat, kita bukan nabi yang menerima wahyu langsung dari langit. Oleh karena itu, ada kemungkinan nasihat yang kita berikan kurang tepat atau perlu disesuaikan. Dengan mendengar pandangan mereka, kita dapat memahami kondisi mereka lebih baik dan menyampaikan nasihat yang lebih efektif.
Hindari sikap sepihak dalam menyampaikan kritik. Berikan kesempatan kepada orang yang dikritik untuk berbicara, terutama jika itu adalah anak. Jangan hanya memaksa mereka mendengar tanpa memberikan ruang untuk menyampaikan pendapat. Sebagai orang tua, kadang kita terlalu mendominasi dialog, hanya menyuruh anak mendengar dan diam. Padahal, kita tidak tahu apa yang ada dalam hati atau pikirannya.
Mungkin saja mereka memiliki alasan atau argumen yang ingin disampaikan. Kita perlu memahami alasan tersebut, karena setiap kesalahan yang dilakukan manusia biasanya didasari oleh alasan tertentu. Alasan itu, meskipun terkadang menjadi pembelaan diri, perlu didengarkan agar kita dapat menilai kesalahannya secara proporsional.
Dalam Islam, dosa memiliki tingkatan. Ada dosa besar dan dosa kecil, bahkan dosa besar pun terbagi dalam tingkatan yang berbeda. Dengan memahami alasan di balik kesalahan, kita dapat menakar seberapa serius pelanggaran tersebut. Ini memungkinkan kita memberikan respons yang tepat, baik dalam bentuk kritik maupun tindakan lain, sesuai dengan kadar kesalahannya.
Penting untuk tidak memperlakukan seseorang secara berlebihan dibandingkan kadar kesalahannya. Jika seseorang diperlakukan dengan cara yang tidak adil, dia akan merasa terzalimi. Sebaliknya, jika diberi kesempatan untuk berbicara, mereka bisa menjelaskan alasan di balik tindakan mereka. Hal ini memberikan rasa keadilan dan memperbaiki komunikasi.
Metode Nabi dalam Menyampaikan Kritikan kepada Remaja
Dalam hal memberikan kritik, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan teladan yang luar biasa. Contohnya, kita bisa membayangkan seorang pendidik yang mengingatkan anak didiknya tentang keutamaan shalat malam. Misalnya, dia berkata, “Kita ini seperti hewan ternak, hanya makan, minum, dan tidur. Ketika waktu fajar tiba, kita malas bangun untuk melaksanakan shalat malam.”
Meskipun maksudnya adalah untuk memotivasi, pemilihan kata seperti itu kurang tepat. Mengatakan kepada anak didik bahwa mereka seperti hewan ternak tentu tidak enak didengar. Sebaliknya, Nabi menunjukkan cara yang lebih lembut dan membangun ketika memberikan anjuran atau kritik.
Sebagai contoh, Nabi pernah menasihati Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, seorang remaja pada masa itu. Nabi bersabda:
نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik orang adalah Abdullah, seandainya ia mau mengerjakan shalat malam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kalimat ini merupakan bentuk kritik yang membangun. Nabi tidak mengatakan, “Hai Abdullah, jangan seperti hewan ternak yang hanya tidur saja!” Padahal tujuannya sama, yaitu agar Abdullah semangat melaksanakan shalat malam. Namun, Nabi memilih kata-kata yang lebih lembut dan menyentuh hati, sehingga lebih nyaman didengar dan lebih efektif dalam memotivasi.
Ketika kata-kata yang digunakan tidak tepat, apalagi mengandung unsur penghinaan, orang yang dikritik cenderung akan membela diri terlebih dahulu. Mereka akan merasa tersinggung dan tidak menerima pesan yang ingin disampaikan. Sebaliknya, kritik yang disampaikan dengan lembut dan penuh hikmah akan lebih mudah diterima dan membangkitkan semangat untuk berubah.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan motivasi yang membangun kepada Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma agar ia semangat melaksanakan shalat malam. Dalam sebuah riwayat, Salim bin Abdullah berkata bahwa setelah Nabi memberikan motivasi ini, Abdullah bin Umar tidak pernah lagi tidur di waktu malam kecuali hanya sedikit, karena ia sangat bersemangat untuk mengerjakan shalat malam.
Ini adalah contoh bagaimana apresiasi dan motivasi dari sisi positif dapat menghasilkan perubahan besar. Manusia tentu memiliki sisi negatif, tetapi jika pendekatan dimulai dari sisi negatif itu, sering kali yang terjadi adalah mereka justru akan membela diri. Akibatnya, inti dari nasihat yang disampaikan menjadi hilang. Misalnya, jika seseorang dikritik dengan kasar, ia mungkin hanya ingin membuktikan bahwa dirinya tidak salah, tanpa memahami maksud nasihat tersebut.
Sebaliknya, Nabi menunjukkan cara yang penuh hikmah. Nabi tidak pernah berkata kepada Abdullah bin Umar, “Wahai Ibnu Umar, kamu ini seperti hewan ternak, kerjamu hanya tidur saja. Bangun dan shalat malam sana!” Nabi memilih kata-kata yang lembut dan manusiawi.
Kata-kata yang penuh penghargaan ini tidak hanya memotivasi Abdullah bin Umar, tetapi juga membuatnya merasa dihargai dan dihormati. Inilah pelajaran penting bagi para pendidik dan orang tua: perhatikan etika dalam berkomunikasi. Manusiawikan anak-anak atau orang yang kita nasihati, bukan memperlakukan mereka seperti bawahan yang bisa diperlakukan sesuka hati.
Kadang-kadang, karena memandang anak atau bawahan sebagai orang yang lebih rendah, sebagian orang berbicara tanpa memilih kata-kata yang baik. Namun, komunikasi yang baik adalah keterampilan yang perlu dilatih. Anak-anak yang sering mendengar orang tua mereka berbicara santun akan membawa karakter itu hingga dewasa. Mereka pun akan menjadi pribadi yang santun dalam berbicara, terutama dalam memilih kata-kata yang tepat dan beretika dalam berkomunikasi.
Apresiasi dan Sentuhan Fisik dalam Pendidikan
Dalam sebuah riwayat, Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memegang tangannya lalu bersabda:
“Wahai Mu’adz, demi Allah, sungguh aku mencintaimu. Maka jangan tinggalkan membaca doa ini setiap selesai shalat: ‘Allahumma a’inni ‘ala dzikrika, wa syukrika, wa husni ‘ibadatik (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu).`” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya)
Hadits ini menunjukkan bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membangun keakraban tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan sentuhan fisik yang wajar dan normal. Misalnya, Nabi memegang tangan, menepuk bahu, membelai kepala, mendekap, atau bahkan membonceng sahabatnya, seperti yang dilakukan kepada Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma saat menyampaikan beberapa pelajaran.
Dalam hal ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memulai dengan membangun keakraban, baik secara fisik maupun verbal, sebelum menyampaikan nasihat inti. Beliau tidak langsung berkata, “Mu’adz, amalkan doa ini.” Sebaliknya, Nabi terlebih dahulu mengungkapkan cinta dan penghargaan dengan bersabda, “Wahai Mu’adz, demi Allah, aku mencintaimu.”
Mengungkapkan cinta atau apresiasi secara verbal penting, karena seseorang tidak bisa hanya mengandalkan perasaan tanpa menyatakannya. Anak-anak atau orang lain tidak selalu tahu isi hati kita. Oleh karena itu, perlu ada pernyataan yang jelas, seperti yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Misalnya, kepada anak, kita bisa berkata, “MasyaAllah, kamu ini anak yang rajin.” Pujian ini bersifat positif dan menunjukkan apresiasi terhadap hal-hal baik yang dimiliki anak. Sebaliknya, jika pendekatan negatif digunakan, seperti berkata, “Jangan malas membaca doa ini,” maka bisa muncul kesan tuduhan bahwa anak malas, padahal mungkin tidak demikian.
Pemilihan kata sangat penting, karena dampaknya bisa berbeda. Kata-kata positif memberikan motivasi dan membangun kepercayaan diri, sementara kata-kata negatif cenderung membuat orang merasa terpojok atau salah.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan pentingnya membangun hubungan yang baik sebelum memberikan nasihat. Sentuhan fisik yang wajar, dikombinasikan dengan kata-kata penuh cinta dan apresiasi, dapat memperkuat pesan yang disampaikan. Hal ini menjadi teladan bagi orang tua, guru, atau siapa saja yang ingin memberikan nasihat dengan cara yang efektif dan penuh hikmah.
Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian yang penuh manfaat ini.
Download mp3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54824-metode-menyampaikan-kritik-kepada-remaja/